BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah sebuah ajaran abadi yang dapat hidup di sebuah zaman dan semua tempat dengan semua dimensi baru. Dalam islam keberagaman pemeluknya begitu luar biasa. Kultur memisahkan Mongol, Turki, Indonesia, dan Maghribi, namun demikian semua mereka terhubung oleh ajaran yang sama dan mereka mewarisinya tanpa pernah berhenti mengalami evolusi dalam semua wilayah sosio-kultural mereka yang masing-masing. Religi ini tergabung dalam sebuah kesinambungan ajaran kenabian yang diserukan oleh Yudhaisme dan Kristianisme. Meskipun demikian sangat mengherankan dan menyedihkan, bahwa ketiga agama yang berasal dari sebuah sumber spiritual yang sama ini beradab-adab lamanya saling bertikai dengan segala macam kesalah pahaman dan ketidak toleransi diantara mereka.
Pada jantung religi ini, terdapat sebuah tradisi yang berusia ribuan tahun yaitu tasawuf (sufisme) yang merupakan aspek mistis islam. Karena menurut Dr. Jalaludin sufisme atau disebut juga mistisisme merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi agama. Sebutan sufisme ini tidak dikenal di agama-agama lain, melainkan khusus disebut mistisisme islam. Sebagaimana halnya mistisisme, Tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh langsung dan disadari dengan Tuhan.,sehingga disadari benar bahwa seseorang merasa dihadirat Tuhan.
Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhannya dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat Tuhan iti dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dituliskan, maka kita dapat mengambil beberapa rumusan masalah yang layak dibahas, yaitu sebagai berikut:
Apa yang dimaksud dengan Psikologi Agama dengan Tasawuf ?
Bagaimana ruang lingkup Psikologi Agama dengan Tasawuf?
Bagaimanakah hubungan antara Psikologi agama denganTasawuf?
Tujuan Penulis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini untuk
Mengetahui hakekat Psikologi Agama dan Tasawuf
Mengetahui ruang lingkup Psikologi Agama dan Tasawuf
Mengetahui hubungan antara Psikologi agama denganTasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Psikologi Agama dengan Tasawuf
Psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah-kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku).
Kemudian pengertian agama, Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi mental khusus yang bias dikondisikan. Pandangan Jung ini berdasarkan kepada penggunaan kata asli agama atau religion yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna pandangan baru atau titik persepsi, yang terbentuk karena berbagai factor. Artinya, agama adalah suatu istilah yang mungkin sekali terbentuk dalam diri manusia karena beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan besar menjadi fokus perhatiaannya.
Jadi, Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama. Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia. Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-Din yang berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat.
Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh Jalaluddin, 2004: 15).
Dari ketiga rumusan pengertian psikologi agama tersebut ditemukan beberapa catatan penting, yang selanjutnya dapat digunakan untuk melacak bagaimana hakekat ilmu ini?.
Pertama, psikologi agama menitik beratkan pada aspek pengaruh, karenanya ada yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh, yakni ilmu yang mempelajari sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil pengaruh keyakinan atau kepercayaan agama yang dianutnya.
Kedua, psikologi agama mengkaji proses terjadinya pengaruh tersebut. Psikologi agama mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu kepercayaan atau keyakinan dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan seseorang.
Ketiga, psikologi agama mengkaji kondisi keagamaan seseorang. Bagaimana terjadinya kemantapan dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi obyek kajian penting psikologi agama. Tiga ranah itu yang menjadi kajian pokok psikologi agama.
Bila dicermati dari ketiga kajian pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama tidak menyentuh keyakinan atau kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama hanya meneliti seberapa besar atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan perilakunya, bagaimana proses terjadi, dan bagaimana kondisi jiwa keberagamaan seseorang. Psikologi agama tidak menyentuh ajaran agama dan atau keyakinan seseorang. Ini berarti, psikologi agama tidak berhak mendukung, membenarkan, menolak atau menyalahkan ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang. Ungkapan seperti itu dapat ditemukan dalam pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena keduanya menyatakan, kajian psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip psikologis perilaku keagamaan seseorang.
Pendapat kedua tokoh sekaligus mempertegas, bahwa obyek kajian psikologi agama bukan ajaran agama, melainkan tiga aspek sebagaimana disebut di atas, yang oleh Zakiah diringkas menjadi dua aspek, yaitu, kesadaran keagamaan (religious consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience). Kesadaran keagamaan diartikan sebagai bagian atau segi yang hadir dalam pikiran yang pengujiannya dapat dilakukan melalui metode instrospeksi. Juga dapat dikatakan, kesadaran keagamaan adalah aspek mental dan aktifitas keagamaan seseorang. Sementara pengalaman keagamaan diartikan sebagai perasaan yang membawa pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Dengan demikian dapat dipahami, psikologi agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan keberagamaan seseorang.
Psikologi agama merupakan studi psikologi dalam kaitannya dengan kehidupan keagamaan seseorang dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip psikologi. Bagaimana bentuk pengaruh ajaran keagamaan, bagaimana terjadinya proses pembentukan suasana kejiwaan, dan bagaimana pula bentuk-bentuk kepribadian keagamaan seseorang dikaji dengan tetap bertopang pada prinsip-prinsip psikologi.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dalam hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.
Sedangkan berbicara tentang pengertian Tasawuf, dalam terminologi islam, ternyata banyak para ahli tasawuf yang berbeda pendapat baik secara etimologi maupun secara istilah. Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian diantaranya :
Tasawuf berasal dari istilah ”ahlu shuffah”artinya sekelompok orang di zaman Rosulilloh SAW yang hidupnya banyak berdiam diri diserambi-serambi masjiddan mereka hanya mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada alloh SWT.
Tasawuf berasal dari kata ”shof.” Yang maksudnya adalah barisan orang yang dalam solat yang berada di shof yang paling depan.
Tasawuf berasal dari kata “shofa” yang artinya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
Tasawuf diartikan sebagai sekelompok arang-orang bani shuffah.
Tasawuf di artikan dengan kata bahasa Grik atau yunani, yaitu “saufi”. Istilah ini di samakan maknanya dengan kata “hikmah” yang berarti kebijaksanaan
Tasawuf berasal dari kata “shaufanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak tumbuhan di padang pasir di tanah arab. Dan pakaian kaum sufi yang berbulu-bulu seperti itu pula, dalam kesederhanaannya.
Tasawuf berasal dari kata“shuf”yang berarti bulu domba atau wol. Maksudnya adalah kaum sufi itu adalah kaum yang sering berpakaian yang berasal dari bulu domba yang menimbulkan kesederhanaan dan kefakiran.
Dari ketujuh terma tersebut, yang banyak diakui kesederhanaannya dengan makna tasawuf yang dipahami skarang ini adalah terma ketujuh yaitu terma shuf. Di antara mereka yang lebih cenderung mengakui terma ketujuh ini, antara lain Al-Kalabadzi, Asy-Sukhrawardi, Al-Qusyairi, dan lainnya, walaupun dalam kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.
Sedangkan secara istilah tidak sedikit para ahli yang berbeda pendapat , hal ini nampaknya disebabkan oleh selera masing-masing dalam memakai kata tasawuf. Akan tetapi untuk memberikan penekanan pada pembahasan pada ilmu tasawuf ini, Penulis mencoba mengutip pendapat Al-Junaidi tentang tasawuf, seperti yang dikutip oleh Mukhtar Solihin, yaitu ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari pembersihan diri, perjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makhrifat menuju keabadian, saling mengingatkan anatar manusia serta berpegang teguh pada janji Alloh SWT dan mengikuti syari’at rasululloh SAW, dengan mendekatkan diri dan mencapai keridoan-Ny
Ruang Lingkup Kajian Psikologi Agama Dengan Tasawuf
Ruang lingkup Psikologi Agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari maslah agama lainnya. Pernyataan Robert Thouless, memusatkan kajiannya pada agama-agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok / masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan psikologi.
Menurut Zakiyah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama mengenai:
Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut serta dalam kehidupan beragama orang biasa( umum ).
Contoh : perasaan tenang, pasrah dan menyerah.
b). Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin.
c). Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang.
d). Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e). Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruhpenghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu tercangakup dalam kesadaran beragama (religious counsciousness) dan pengalaman agama ( religious experience).
2. Ruang Lingkup Kajian Tasawuf
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. sini Dari baru muncul perbuatan perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak. Maka hubungan tasawuf dengan psikologi agama secara jelas bisa dihilat dalam lingkup Tasawuf Akhlaqi.
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmumah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Dalam hal ini, dengan demikian tampaklah beberapa sifat bahwa zuhud, qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang sakit.
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi (agama) ini dibahas dalam psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan pengembangan dari psikologi humanistik yaitu yang menolak teori dan metode sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan spiritual.
Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan beberapa persamaan dari keduanya, yaitu :
a). Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia
Di kalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah di sini adalah bahwa manusia ketika dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi Islam mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran.
Konsepsi tentang fitrah di atas, memiliki kesamaan dengan pandangan Maslow dan juga para ahli psikolog humanistik lain, yang menekankan potensi dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.
Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang yang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan dirinya.
b). Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mepunyai peluang untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, di mana pilihan inilah yang dapat merubah kondisi psikologis manusia. Sesuai Firma Tuhan ” Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d, 13).
Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.
Dalam prespektif psikologi humanistik maslow, pertumbuhan yang wajar dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan, sementara pertumbuhan yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif kekurangan (defisiensi need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa dengan konsepsi nafs al-ammarah dalam tradisi tasawuf, di mana jika seseorang didominasi oleh nafsu rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau keinginan rendah, jika dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan penyakit mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).
Perlu dikatahui bahwa tasawuf merupakan presfektif spiritual untuk memetakan kondisi kejiawaan manusia, dalam usahanya menuju kesempurnaan, yaitu pengetahuan terhadap atau penyatuan dengan Yang Maha Mutlak. Menurut Javad Nurbakhsi (2000 : 3), ada beberapa hal dalam memahami bahwa tasawuf merupakan bagian dari psikologi agama, yaitu:
Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain, memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan modern menganggap dunia yang dikaji manusia secara valid hanyalah realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun keberadaan dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak memiliki ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri ataukah hanya sisi dalam dunia materi. Sedangkan para sufi dengan tegas menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.
Kedua, Para sufi juga menganggap diri manusia memiliki lapisan-lapisan yang paralel dengan realitas alam raya. Kita tidak hanya berjumpa dengan istilah mikrokosmos dan makrokosmos, yang menggambarkan bahwa diri manusia adalah miniatur alam raya; melainkan juga mikroantropos dan makroantropos, dari Ibnu Arabi yang berarti alam raya sebenarnya merupakan tiruan dalam struktur raksasa dalam diri manusia. Didalam diri manusia terdapat lapisan fisikal yang berada di alam materi; lapisan selanjutnya lebih tinggi adalah nafs yang setara dengan alam nasut;lapisan Qalb yang sejajar dengan ‘Arsy; lapisan ruh yang setara dengan Malakut; lapisan kesadaran batin, Sirr atau kahfi, yang berada dalam tingkat alam jabarut; serta lapisan kesadaran batin terdalam (Akhfa) yang berada dalam tingkatan alam lahut.
Ketiga, di dalam konsep sufi juga terdapat berbagai realitas dan wujud spiritual yang berinteraksi serta memberi pengaruh kepada kondisi jiwa manusia, seperti mukjizat, bantuan malaikat, godaan setan, atau gangguan jin yang bukan hanya terdapat dalam, namun juga tidak mungkin diterima oleh psikologi modern.
Keempat, dalam presfektif mistisisme secara umum, dan juga bagi para sufi, terdapat kaidah yang mengatakan: ‘hanya yang sama bisa saling mengetahui’, yang mengacu kepada kesejajaran antara aspek-espak di dalam diri manusia dengan lapisan alam raya di atas.
Kaidah di atas menjadikan sebuah naskah atau pembicaraan mistik hanya bisa difahami oleh para mistikus, yaitu orang telah, sedang, akan, atau ingin menekuni kehidupan mistis. Dunia sufi adalah dunia spiritual, yanng tidak dapat diperbincangkan secara diskursif karena tidak memilki acuan kongkrit.
Jadi hubungan psikologi agama dengan tasawuf itu sangat erat kaitannya pembahasan dengan pembahasan penyucian diri atau jiwa manusia. Dalam hal ini akan terlihat adanya hubungan antara jiwa dan raga manusia , dimana ketika seseorang melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhoh, maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah maka akan terpancar pada dirinya sifat penyabar, karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya. Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga dalam pembahasan tasawuf inilah yang menjadikan tasawuf erat dengan psikologi agama yang banyak membahas tentang jiwa sebagai orang yang beragama.
Dan sekarang ini kajian tentang jiwa yang lebih di tekankan pada personality (kepribadian) disebut dengan transpersonal psikologi. Kalo dulu istilahnya kesehatan mental. Problem (mental) meliputi semua unsure jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap dan perasaan. Yang mana semua itu akan sangat mempengaruhi prilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Dalam hal inilah muncul dua kondisi manusia yaitu yang sehat mental dan kurang sehat mental. Orang yang sehat mental adalah orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya. Misalnya kitika ada masalah dia tidak mudah stress, tapi mencoba mencari solusi pemecahannya dengan cara mencari sebab-sebab permasalahannya. Orang yang sehat mentalnya tentu tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya yang sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya. Dia tidak akan sombong ketika memiliki kelebihan dari yang lain. Dia tidak akan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati yang lain dsb. Pada porsi inilah ajaran-ajaran tasawuf sangat menunjang . Misalnya ketika seseorang sangat bersedih karena kehilangan seseorang yang sangat dicintainya maka ajaran tasawuf mengatakan bahwa semua ini milik Alloh dan akan kembali kepada-Nya . Pada seseorang yang resah dan galau, maka ajaran tasawuf akan mengatakan dengat mengingat Alloh hati akan menjadi tenang. Dari sisi lain hubungan Tasawuf gengan ilmu jiwa agama (psikologi Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spiritual kerah yang lebuh baik dan lebih sempurna. Dengan demikian amalan-amalan Tasawuf tersebut bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh lika-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Manusia sebagai mahlik Alloh memiliki jasmani dan rokhani. Salah satu unsur rohani adalah hati (qalbu) di samping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa penyakit manusia itu ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan rohani atau jiwa.
Di dalam beberapa ayat Al- Quran dikatakan bahwa didalam hati terdapat penyakit antara lain iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya .
Dengan Tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologi) berupa prilaku mempertukarkan hawa nafsu keduniaan seperti lain iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Tasawuf berusaha melakukan kontak batin degan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa. Dengan demikian antara psikologi agama dengan tasawuf memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktik dari psikologi agama adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologi seperti iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Simpulan
Tasawuf dengan psikologi memilik hubungan, yaitu tentang jiwa dan aspek yang mempengaruhinya.
Kesamaan potensi dasar manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan keburukan yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang datang dari luar dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi Maslow manusia lah yang menentukan pilihan baik buruk itu, sedangkan dalam tasawuf selain manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir Illahi.
Kesamaan-kesamaan itu meliputi kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat apa adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya, efisien, terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran social, demokratis dll. Di mana karakter-karakter tersebut ditemukan baik dalam maqomat, ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation.(Maslow)
Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan Maslow menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kesempurnaan, sementara aktualisasi diri Maslow adalah proses sekaligus tujuannya.
B. Kritik dan Saran
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, dalam waktu yang minimal singkat, dan dengan kekuatan yang maksimal makalah ini dapat diselesaikan. Dalam mengerjakan makalah ini, kami merasa sedikit kesulitan tetapi inilah proses belajar yaitu untuk menghilangkan kebodohan sehingga menjadi sebuah penemuan dan pemahaman baru. Tetapi kami percaya, bahwa makalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami butuhkan guna untuk memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, 1997, Psikologi Agama, Rajawali Press,Jakarta.
Solkhin, Muhtar, 2000 ,Ilmu Tasawuf , Pustaka setia, Bandung
Ramayulis, 2013 ,Psikologo Agama, Kalam Mulia ,Jakarta
Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Penerbit Putra Utama: Jakarta.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama.Raja Grafindo Persada: Jakarta.
http//alhujratrambe.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar